Jumat, 10 Oktober 2014

Karawo, Sulam Khas dan Langka Dari Gorontalo

Karawo atau kerrawang adalah sulam khas yang hanya ada di Gorontalo, cara pembuatannya memerlukan ketelitian luar biasa, tidak hanya butuh kesabaran saja. Satu demi satu serat kain dipotong, tidak boleh ada kesalahan, apalagi untuk selembar sutera yang berharga mahal.  Pemotongan ini menghasilkan serat kain yang jarang, terhitung dan terukur antara yang horizontal dan vertical, sebelum aneka warna benang disulam.
…………………………….
Proses yang rumit membuat pengrajin yang bertugas sebagai pemotong serat kain Karawo saat ini semakin sulit ditemukan. Hanya orang yang berpengalamana saja yang berani melakukan, apalagi dilakukan pada selembar kain yang mahal seperti sutera.
Kerajinan sulam ini hanya dilakukan oleh kaum wanita di sela kesibukannya mengurus rumah tangga dan hanya dilakukan pada siang hari, karena membutuhkan pencahayaan yang terang, apalagi jika kain yang akan disulam berwarna gelap.
Seorang wanita desa Bongo, Batudaa Pantai Kabupaten Gorontalo menyulam karawo pada selembar kain putih. Di desa ini karawo mulai dikembangkan seiring mulai berkembangnya pariwisata
Sulam Karawo diyakini sudah ada sejak abad 17, awalnya dilakukan oleh perempuan di daerah Ayula, yang saat itu berada di bawah pengaruh kerajaan Bulango, sekarang berada di provinsi Gorontalo. Para perempuan menjelang masa dewasanya diberika kesibukannya untuk membuat sulam karawo, tradisi ini kemudian berlanjut untuk mereka yang dipingit menjelang pernikahannya.
Hasil sulaman ini pun hanya untuk keperluan pribadi sang pengrajin, selembar kain yang motif yang sederhana, bisa bentuk-bentuk geometri dan dedaunan.
Dalam perkembangannya, sulaman ini kemudian dimanfaatkan untuk menghiasi baju koko yang lazim dikenakan kaum pria ke masjid atau acara keagamaan dan kematian. Karawo dengan motif sederhana juga menghiasi taplak dan sapu tangan (lenso).
Bertahun-tahun karawo hidup tanpa perkembangan yang berarti, motif yang sederhana, jenis kain yang terbatas, dan penggunaan yang ala kadarnya. Sulam ini karawo tetap bertahan karena masih memiliki fungsi sosial yang dibutuhkan masyarakat. Fungsi-fungsi kemasyarakatan inilah yang kemudian diadopsi dan menyebar ke daerah lain sekitar Ayula.
Kerja kerja yang berisi disain motif karawo. Dibutuhkan banyak disainer karawo untuk membuat motif yang dinamis dan disukai masyarakat. (Foto Ervina Julianty Arsyad)
Menurut Yus Iryanto Abas, Ketua Jurusan Teknik Kriya Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo, memasuki era tahun 1980-an sulam Karawo ini sudah lazim dipakai masyarakat untuk baju-baju yang dipakai ke masjid (koko) warna putih, juga saat menghadiri upacara kematian (takziyah). Penggunaan baju sulam karawo ini juga dilakukan kaum perempuan pada acara yang sama.
Dirasakan memiliki nilai ekonomi yang tinggi, pada masa selanjutnya sulam karawo diperdagangkan dalam pasar yang terbatas, masyarakat sekitar pengrajin. Lambat laun pedagang desa ini menawarkan ke pasar yang lebih luas dengan motif meningkatkan omzet penjualan.
Gorontalo yang masih menjadi bagian dari Sulawesi Utara pada waktu itu tidak memiliki pasar yang baik di wilayahnya. Para pedagang Gorontalo menjadikan kota Manado sebagai tempat berdagang yang prospektif, hasil bumi seperti produk pertanian, perikanan, perkebunan dibawa ke Manado. Lambat laun kerajinan juga dibawa ke tanah Wenang ini.
Seorang penari membawa kipas berhiaskan sulam karawo. Baju yang dikenakan juga berbahan sulam karawo yang indah. (Foto Husein Utiarahman)
Di Manado, sulam Karawo dipajang di toko-toko besar di kawasan jalan BW Lapian, beserta kerajinan dan makanan tradisional dari Minahasa. Kawasan ini memang dikenal sebagai pusat oleh-oleh di Sulawesi Utara.
Dari toko-toko yang berderet ini karawo muncul di masyarakat luas sebagai sulam yang khas. Para Kawanua (orang Minahasa) dan juga masyarakat Gorontalo yang tinggal di Manado membawa sulam ini ke dunia yang lebih luas.
Menjadi bagian dari Sulawesi Utara membuat sulaman asli Gorontalo ini dikenal sebagai produk asal Manado. Para pelancong dan penggemar sulaman mengerti jika untuk mendapatkan sulam kerawang (saat itu dikenal sebagai kerawang) harus datang ke Manado.
Dalam perdagangan karawo ini tidak ada upaya untuk menjelaskan asal muasal, proses produksi  dan sejarah sulam ini. Padahal nilai jual sulaman ini juga sangat ditentukan oleh nilai sosialnya juga. Nilai jual karawo tidak semata pada kandungan materi yang melekat pada selembar kain. Dan ini berjalan bertahun-tahun tanpa ada upaya untuk menghargai lebih baik lagi.
Busana sulam Karawo tidak lagi menjadi pakaian pinggiran, kini sulaman ini bisa tampil di gaun malam yang anggun dan mewah. (Foto Muazman Hamzah)
Saat Gorontalo berdiri sebagai provinsi yang ke-32di Indonesia pada 22 Desember 2000 melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000, nasib sulam karawo tidak berubah. Ribuan potong sulaman karawo masih ditransaksikan di Manado, meskipun di kota Gorontalo sendiri mulai tumbuh perdagangan karawo dengan manajemen yang lebih baik.
Kesadaran pemerintah provinsi Gorontalo untuk menghargai sulam Karawo sebagai karya asli daerah ini baru tercetus tahun 2006, saat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan Hak Paten tentang Sulam Karawo sebagai kerajinan milik masyarakat Gorontalo. Plakat hak paten ini disampaikan saat Sidang Paripurna Istimewa DPRD Provinsi Gorontalo memperingati HUT Provinsi Gorontalo, 16 Februari 2006.
Untuk membuat sulaman karawo memang sulit. Dalam proses pembuatannya, setidaknya ada tiga pengrajin yang terlibat. Yang pertama adalah mereka yang bertugas membuat motif atau disain, tugas disainer ini membuat pola gambar.
Lalu pengrajin kedua bertugas mengiris serat kain, pengrajin ini memiliki keterampilan dan kejelian yang luar biasa, karena ia harus mampu memutus/mengiris serat kain yang panjangnya tergantung pola, antara ujung serat kain yang satu dengan yang lain harus sama dan menyisakan serat kain lainnya untuk disulam. Pengirisan serat kain ini akan menghasilkan seperti kain strimin dengan pola tertentu.
Selendang karawo yang cantik, meningkatkan penampilan dan percaya diri yang mengenakannya. (Foto Teddy Agung Saputra)
Pengrajin ketiga bertugas membuat sulaman pada kain yang sudah diiris tersebut mengikuti pola/gambar dari disainer.
Untuk selembar kain dengan motif yang besar (hingga 60 cm) diperlukan waktu produksi hingga 2 bulan. Pekerjaan pengirisan dan penyulaman tidak bisa dilakukan secara terus-menerus sepanjang siang. Proses ini memerlukan akurasi dan ketelitian yang tinggi, sehingga pada kondisi mata segar, mampu melihat normal, pekerjaan ini dilakukan. Jika dipaksanakan akan mendapatkan pekerjaan yang tidak sempurna dan merusak kesehatan mata.
Proses penyulaman berlangsung satu minggu sampai satu bulan tergantung motif dan jenis kain. Ada dua jenis sulaman karawo yaitu sulaman karawo biasa dan sulaman karawo ikat. Sulaman karawo ikat lebih mahal dari sulaman karawo biasa.
Sentra sulam karawo saat masih banyak dijumpai di kecamatan Batudaa, kecamatan Bongomeme, Kecamatan Telaga, Kecamatan Telaga Jaya dan Kecamatan Telaga Biru, semuanya berada di kabupaten Gorontalo. Di Kota Gorontalo, sulaman ini masih ditemui di kecamatan Kota Utara dan di kabupaten Bone Bolango ada di kecamatan Tapa.
Paduan suara Gorontalo Inovasi menggunakan baju sulam karawo yang atraktif. Sulaman Gorontalo ini merupakan warisan budaya yang harus dilestarikan
Sulam Karawo bisa dilakukan di berbagai jenis kain. Pada kain sutera, sulam karawo sulit dilakukan dan memerlukan waktu produksi hingga 3 bulan. Tidak heran jika harga sulam karawo ini sangat mahal hingga Rp4 juta per lembarnya.
Jika dulu sulaman ini hanya dipakai pada baju koko atau kain putih untuk dikenakan saat menghadiri takziyah dan ke pengajian, sekarang karawo sudah meningkat fungsi penggunaannya. Seragam formal kantor sudah lama berhias sulaman ini, bahkan gaum malam yang mewah juga berhias sulaman ini.
Di produk lain, jilbab, mukena, hiasan tatakan cangkir pun indah dengan motif karawo. Demikian juga dengan kopiah, dasi, tas, kipas, syal, hiasan dinding, sandal, taplak meja, tutup gelas, penutup galon dispenser, dompet dan lain-lain. Pendeknya, semua yang terbuat dari kain bisa disulam karawo.
Untuk memperluas pasar, daya kreatif Koperasi Wanita Seruni di kelurahan Ipilo Kota Gorontalo patut diacungi jempol. Koperasi yang diketuai Rosmiyati Abdul ini memperkenalkan kaos karawo, motifnya unik dengan cita rasa anak muda.
Survey Bank Indonesia Gorontalo menunjukkan sulam karawo sudah menjadi kebanggaan masyarakat, namun sayangnya tidak banyak yang memilikinya.
Sulam karawo sebagai warisan budaya Gorontalo patut dilestarikan, tidak saja memiliki nilai ekonomi, juga memiliki nilai sosial yang tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar